Followers

Wednesday, December 11, 2024

Tugas Filsafat Ilmu (Prof. Karim) : Menerjemahkan Paper "An Adequate Philosophy of Social Science" Part 1

 Menerjemahkan Paper "An Adequate Philosophy of Social Science" dan membuat catatan point-point Utama nya [paper ada dalam link google drive] 

Hasil Terjemahan

Seperti Apa Filsafat Ilmu Sosial yang Memadai?
BRIAN FAY, Filsafat, Wesleyan University
J. DONALD MOON, Pemerintahan, Wesleyan University

I

Selama dua puluh tahun terakhir, sebuah literatur yang sangat besar telah berkembang di sekitar pertanyaan: apa sifat dari ilmu sosial? Dua pandangan mendominasi diskusi ini:

  1. Pandangan naturalistik, yang berpendapat bahwa ilmu sosial tidak memiliki perbedaan esensial dari ilmu alam, dan
  2. Pandangan humanistik, yang berpendapat bahwa kehidupan sosial tidak dapat dipelajari secara "ilmiah".

Berbagai model ilmu sosial telah dikembangkan untuk mendukung salah satu pandangan ini, dengan melihat pandangan lainnya sebagai alternatif yang tidak kompatibel. Mengingat tradisi diskusi yang begitu hidup, mungkin tampak aneh jika seseorang kini mengajukan pertanyaan: seperti apa filsafat ilmu sosial yang memadai?

Sayangnya, baik naturalisme maupun humanisme tidak mampu menjawab tiga pertanyaan yang diajukan oleh gagasan tentang ilmu perilaku. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:

  1. Apa hubungan antara interpretasi dan penjelasan dalam ilmu sosial?
  2. Apa sifat dari teori ilmu sosial?
  3. Apa peran kritik?

Dalam esai ini, kami akan menunjukkan mengapa tiga pertanyaan tersebut harus dijawab oleh setiap pemaparan ilmu sosial yang kuat, dan mengapa humanisme dan naturalisme tidak mampu menjawabnya.

  • Pertanyaan pertama akan dibahas di bagian II,
  • Pertanyaan kedua di bagian III, dan
  • Pertanyaan ketiga di bagian IV.

Dengan menunjukkan bahwa dualisme yang mendominasi pemikiran filosofis saat ini membuat mustahil untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini secara memadai, kami akan menunjukkan perlunya sebuah sintesis baru dalam filsafat ilmu sosial, sebuah sintesis yang melampaui pertentangan antara humanisme dan naturalisme.


Catatan

  • Artikel diterima pada 30 Maret 1976.
  • Esai ini ditulis ketika para penulis menerima Hibah Penelitian Bersama dari National Endowment for the Humanities (RO-22106-75-139). Para penulis ingin mengakui pentingnya waktu luang yang memungkinkan hibah ini dan secara terbuka berterima kasih kepada National Endowment. Argumen yang disajikan di sini tidak harus mencerminkan pandangan NEH. Versi sebelumnya dari esai ini telah dibacakan di Williams College.
  • Lihat Maurice Roche, Phenomenology, Language and the Social Sciences, London 1973, dan G. H. von Wright, Explanation and Understanding, Ithaca, N.Y. 1971, untuk contoh terbaru dari oposisi antara dua model ilmu sosial ini.
======================================================================

Cara Memulai Pembahasan tentang Hakikat Fenomena Sosial

Salah satu cara untuk memulai pembahasan tentang hakikat fenomena sosial adalah dengan menggunakan perbedaan yang sekarang sudah dikenal secara prima facie antara tindakan manusia di satu sisi dan sekadar gerakan tubuh di sisi lain—antara mengangkat tangan secara sadar dan tangan yang terangkat secara otomatis, menggunakan contoh klasik.

Menurut perbedaan ini, tindakan berbeda dari sekadar gerakan karena tindakan bersifat intentional (bertujuan) dan diatur oleh aturan. Tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dan sesuai dengan beberapa aturan. Tujuan dan aturan ini membentuk apa yang akan kita sebut sebagai "dimensi semantik" dari perilaku manusia—aspek simbolik atau ekspresifnya.

Dengan demikian, tindakan bukan hanya suatu kejadian fisik semata, melainkan memiliki kandungan intensional tertentu yang menentukan jenis tindakan itu. Kandungan ini hanya dapat dipahami dalam kerangka sistem makna tempat tindakan tersebut dilakukan.

Gerakan tertentu, misalnya, hanya dapat dianggap sebagai suara, sinyal, penghormatan, atau upaya meraih sesuatu jika dilihat dalam konteks aturan dan konvensi yang berlaku, serta tujuan dari pelakunya.

Tiga Respon terhadap Fakta Prima Facie

Terhadap fakta prima facie bahwa tindakan manusia adalah peristiwa yang bersifat intensional—di mana identitasnya tergantung pada isinya, yaitu apa yang diungkapkan atau keadaan yang dirujuknya—dan bahwa tindakan ini ditentukan oleh aturan serta tujuan yang mendefinisikannya, ada tiga respons yang mungkin:

  1. Respons Intentionalis
    Respons ini menerima fakta prima facie tersebut dan mencoba membangun sebuah ilmu yang berfokus pada objek-objek intensional berdasarkan fakta tersebut. Respons ini sering diadopsi oleh berbagai kelompok, termasuk humanis (seperti fenomenolog) dan naturalis yang bukan reduksionis eksplanatoris (seperti yang mengadopsi teori fungsional tentang pikiran).

    Beberapa pihak berpendapat bahwa respons ini tidak cukup, karena ilmu manusia pada akhirnya akan menjadi ilmu hibrid yang menggunakan terminologi intensional dan ekstensional (seperti ilmu komputer saat ini menggunakan bahasa pemrograman dan bahasa elektronik). Untuk pandangan ini, lihat Daniel Dennett, Intentional Systems, Journal of Philosophy, 68, 1971.

  2. Respons Perilaku Definisional
    Pendekatan ini mencoba menganalisis konsep seperti "intensi," "makna," dan "tindakan" dalam istilah yang murni observasional (biasanya perilaku). Pendekatan ini bertujuan agar konsep-konsep tersebut dapat digunakan dalam ilmu pengetahuan, tetapi dalam bentuk yang lebih terdefinisi dan disederhanakan.

    Pendapat klasik dari posisi ini dikemukakan oleh Gilbert Ryle dalam bukunya The Concept of Mind (1949). Psikologi perilaku juga berbasis pada respons ini, seperti karya B. F. Skinner dalam Verbal Behavior (1957). Marvin Harris mengadvokasi pendekatan ini untuk antropologi dalam bukunya The Nature of Cultural Things (1964).

  3. Respons Mentalistik
    Respons ketiga mengakui bahwa makna konsep-konsep intensional tidak dapat dipahami tanpa merujuk pada keadaan mental seperti kepercayaan dan institusi.


Dengan pendekatan ini, pembahasan tentang fenomena sosial menjadi lebih terarah, baik dalam hal intensionalitas tindakan maupun aturan yang mengatur makna dari tindakan tersebut.

========================================================================

Norma seperti aturan, dan kesimpulan bahwa konsep-konsep ini sangat cacat untuk tujuan ilmiah,

Norma semacam itu berujung pada kesimpulan bahwa konsep-konsep seperti aturan sangatlah tidak memadai untuk tujuan ilmiah. Karena itu, pendekatan ini berupaya mengembangkan ilmu perilaku tanpa menggunakan konsep-konsep tersebut sama sekali. Pendekatan ini adalah pandangan materialis eliminatif, yang pada akhirnya ingin membatasi penjelasan tentang bahasa dan perilaku sosial lainnya hanya dalam terminologi yang murni ekstensional.

Pendekatan Ketiga: Materialisme Eliminatif

Hal yang penting untuk disadari tentang pendekatan ketiga ini adalah bahwa pendekatan tersebut memerlukan metode yang sangat berbeda dari apa pun yang selama ini dipahami sebagai ilmu sosial sebagaimana praktiknya saat ini.

Secara umum, ilmuwan sosial berusaha memberikan penjelasan tentang peristiwa dengan memperhatikan maknanya. Misalnya:

  • Mereka ingin memahami mengapa sekelompok orang menari (bukan sekadar mengapa kaki mereka bergerak secara tertentu yang dapat dijelaskan dalam istilah spasio-temporal).
  • Mereka ingin memahami mengapa orang-orang memilih dalam pemilu (bukan sekadar mengapa tangan mereka terangkat).
  • Mereka menjelaskan ucapan manusia dalam hal isi (konten) dari ucapannya, bukan dalam kualitas fonetiknya semata.

Namun, jika pendekatan materialis eliminatif mendominasi ilmu perilaku, ilmu ini akan berubah menjadi semacam mekanika atau neurofisiologi, di mana konsep-konsep penjelasannya diambil dari ilmu alam.

Pengamatan Tentang Materialisme Eliminatif

Tentu saja, pengamatan ini tidak dengan sendirinya menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak koheren atau tidak dapat diwujudkan. Sama seperti ilmu alam pada akhirnya meninggalkan konsep intensional—strategi yang pada masanya dianggap mustahil—ilmu perilaku manusia juga mungkin dapat diubah dengan cara ini.

Namun, pertanyaan tentang apa yang disebut sebagai "keberlanjutan konseptual" dari ilmu alam tentang manusia, serta masalah yang mungkin muncul dalam upaya mewujudkan program ini, adalah pertanyaan yang sangat menarik. Meski demikian, pertanyaan-pertanyaan ini berada di luar batas penyelidikan kami, karena kami berusaha memberikan penjelasan tentang berbagai bentuk ilmu sosial sebagaimana adanya saat ini. Oleh karena itu, kami merasa beralasan untuk menyingkirkan pendekatan ini dari diskusi kami.

Ketidakcukupan Respon Kedua

Respon kedua (yang berusaha menganalisis konsep intensional, seperti aturan dan kepercayaan, dalam istilah disposisional) juga tampaknya tidak memadai.

Seperti yang diungkapkan oleh W. V. O. Quine dalam Word and Object (1960), pendekatan ini ternyata lebih beragam daripada yang terlihat pada awalnya.

  • Di satu sisi, pendekatan ini melibatkan mereka yang percaya bahwa tugas ilmu manusia adalah menemukan identitas kontingen antara keadaan dan peristiwa yang saat ini dijelaskan dalam istilah intensional, dengan keadaan dan peristiwa yang sama dijelaskan dalam istilah fisik semata. Dalam pandangan ini, pemetaan dari satu terminologi ke terminologi lainnya melalui ekstensi yang sama, diikuti oleh penggantian kosakata intensionalis dengan kosakata fisikalis, akan mencirikan perkembangan ilmu manusia. Pandangan ini diwakili oleh teori identitas, seperti dalam karya D. Armstrong, A Materialist Theory of Mind (1968).
  • Di sisi lain, pendekatan ini juga mencakup mereka yang percaya bahwa idiom intensional harus sepenuhnya ditinggalkan dalam pembangunan ilmu manusia. Lihat P. K. Feyerabend, Mental Events and the Brain, Journal of Philosophy, 60, 1963.
=========================================================================

Istilah-istilah yang Menentukan Disposisi dan Konsep Intensional

Mencoba mendefinisikan konsep-konsep intensional dalam istilah disposisional, yaitu serangkaian kecenderungan untuk melakukan gerakan tertentu dalam kondisi rangsangan tertentu, hampir pasti akan gagal. Apa pun cara untuk menafsirkan konsep-konsep ini, pada akhirnya selalu diperlukan penggunaan konsep intensional lain untuk menjelaskan maknanya.

Misalnya, pernyataan "Jones meminta kasir untuk menyetor uang ke dalam rekeningnya" mengandung konsep-konsep seperti "kasir", "menyetor", dan "uang". Konsep-konsep ini bersifat intensional secara prima facie karena maknanya melibatkan:

  • Aturan: Misalnya, seorang kasir adalah seseorang yang memiliki peran tertentu dalam institusi tertentu, dengan tugas dan perintah yang harus dipatuhi.
  • Kepercayaan: Untuk menyetor uang, kasir harus percaya bahwa Jones memiliki rekening.
  • Keinginan: Jones harus menginginkan uangnya disetor ke rekening agar dapat dikatakan bahwa dia telah menyetorkannya.

Seorang behaviorist mungkin berargumen bahwa kepercayaan yang terlibat dalam tindakan menyetor dapat dijelaskan dalam istilah disposisional. Misalnya, ketika seorang kasir mendengar pertanyaan seperti "Apakah Anda yakin Jones memiliki rekening?", dia akan merespons dengan menjawab "ya".

Namun, interpretasi ini hanya cukup jika individu memahami pertanyaan tersebut, dan pemahaman adalah kondisi intensional. Seorang behaviorist mungkin kemudian mencoba memberikan penjelasan non-intensionalis tentang pemahaman, misalnya dengan mengatakan bahwa seseorang dianggap memahami sebuah pertanyaan jika dia mampu menjawabnya dengan benar sebagian besar waktu. Tetapi penjelasan ini tetap melibatkan objek intensional, karena sebuah jawaban dianggap benar hanya dalam kerangka aturan yang menentukan apa yang sesuai dan apa yang tidak.

Dengan demikian, diskusi ini akan berlanjut hingga akhirnya menjadi jelas bahwa yang salah bukan hanya upaya tertentu untuk mereduksi konsep-konsep intensional menjadi konsep non-intensional, tetapi juga bahwa ada sesuatu yang secara prinsip salah dalam keseluruhan program behaviorist definisional.

Pendekatan Intentionalis dan Implikasinya bagi Ilmu Sosial

Maka, kita kembali pada respons intentionalis terhadap karakter bermakna secara prima facie dari tindakan manusia, peristiwa mental, dan institusi sosial. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Apa implikasi pendekatan ini bagi ilmu sosial?

Tugas yang paling jelas dari perspektif intentionalis dalam studi tindakan manusia adalah kebutuhan akan interpretasi. Untuk mempelajari perilaku manusia sebagai tindakan yang bermakna, kita harus memahami makna yang diungkapkan dalam ucapan dan tindakan. Ini memerlukan pemahaman tentang sistem konsep, aturan, konvensi, dan keyakinan yang memberikan makna pada perilaku tersebut.

Inilah doktrin understanding, atau Verstehen, yang menjadi prinsip metodologis penting dalam pendekatan humanis terhadap ilmu sosial. Doktrin ini menandai perbedaan metodologis yang mendasar antara ilmu humaniora dan studi alam, yang paling jelas terlihat dalam prinsip-prinsip pembentukan konsep yang sesuai untuk masing-masing.

Secara singkat, pembentukan konsep dalam ilmu alam diatur oleh dua pertimbangan yang saling terkait:

  1. Teori: Pengembangan teori-teori untuk menjelaskan fenomena.
  2. Empirisme: Observasi langsung dari fenomena tersebut.

Seperti yang dijelaskan oleh Roderick Chisholm dalam Perceiving (1957), konsep intensional ini adalah elemen esensial dalam studi manusia.

=========================================================================

Mereka yang Mempertimbangkan Pengukuran

Kita memerlukan konsep-konsep yang dikembangkan sedemikian rupa sehingga memungkinkan pembentukan hukum dan teori yang dapat diuji, sementara isu-isu lain—misalnya, yang berasal dari bahasa sehari-hari—dapat diabaikan. Namun, dalam ilmu humaniora, terdapat seperangkat pertimbangan lain: konsep yang kita gunakan untuk menggambarkan dan menjelaskan aktivitas manusia harus berasal dari kehidupan sosial yang sedang dipelajari, bukan dari teori-teori pengamat, setidaknya pada tahap awal. Karena identitas suatu tindakan tertentu bergantung pada maknanya bagi para pelaku sosial, maka konsep-konsep yang kita gunakan untuk mendeskripsikannya harus menangkap makna tersebut.

Cara lain untuk menyampaikan poin ini adalah dengan mengatakan bahwa konsep-konsep memiliki hubungan yang secara fundamental berbeda dengan fenomena sosial dibandingkan dengan fenomena alam. Dalam ilmu sosial, konsep-konsep sebagian membentuk realitas yang kita pelajari, sementara dalam ilmu alam konsep-konsep tersebut hanya berfungsi untuk menggambarkan dan menjelaskannya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Winch, sesuatu dapat disebut sebagai 'perintah' hanya jika pelaku sosial yang terlibat memiliki konsep tentang perintah, serta konsep-konsep terkait seperti ketaatan, otoritas, dan sebagainya. Tetapi peristiwa alam seperti kilat tetap sama, apakah ia dipahami sebagai ekspresi kemarahan Zeus atau sebagai pelepasan listrik atmosfer: identitasnya tidak bergantung pada makna atau isi intensionalnya. (7)

Interpretasi Makna Tindakan, Praktik, dan Objek Budaya

Menafsirkan makna tindakan, praktik, dan objek budaya adalah tugas yang sangat sulit dan rumit. Alasannya, seperti yang telah ditunjukkan oleh Wittgenstein, adalah bahwa makna sesuatu bergantung pada peran yang dimilikinya dalam sistem tempat ia menjadi bagian. Untuk memahami tindakan tertentu, kita harus memahami keyakinan dan niat yang memotivasinya, dan ini memerlukan pemahaman tentang konteks sosial, praktik, serta institusi yang menentukan 'makna' tindakan tersebut.

Kembali pada contoh penyetoran cek: agar ilmuwan sosial memahami apa arti dari gerakan nyata yang ia amati—yakni, untuk memahami tindakan apa yang sedang dilakukan—ia perlu memiliki pemahaman tentang keyakinan, keinginan, dan nilai-nilai orang yang terlibat. Namun, untuk memahami semua ini, ia harus memahami kosakata yang digunakan untuk mengekspresikannya, yang pada gilirannya memerlukan pemahaman tentang aturan sosial dan konvensi yang menentukan apa arti suatu gerakan atau objek tertentu. Selain itu, untuk memahami aturan-aturan ini, ia juga harus mengetahui praktik institusional tertentu (dalam kasus ini, praktik perbankan) yang menjadi bagian darinya, dan bagaimana praktik-praktik ini berhubungan dengan praktik-praktik lain dalam masyarakat tersebut (misalnya, institusi ekonomi berbasis uang).

Namun, ilmuwan tersebut tidak dapat berhenti di sini. Seperti yang telah dijelaskan oleh Taylor, (8) konvensi dalam kelompok sosial mengandaikan serangkaian asumsi mendasar yang lebih luas.

Catatan: 7. Peter Winch, The Idea of a Social Science, London 1958, hlm. 125.
8. Charles Taylor, Interpretation and the Sciences of Man, Review of Metaphysics, 25, 1971.

=========================================================================

Konseptualisasi atau Asumsi Dasar tentang Manusia, Alam, dan Masyarakat

Konseptualisasi dasar ini dapat disebut sebagai "makna konstitutif dari sebuah bentuk kehidupan", karena merupakan ide-ide atau gagasan mendasar yang menjadi kerangka analisis makna dari praktik dan skema aktivitas tertentu. Sebagai contoh, praktik sosial seperti perbankan hanya dapat terjadi jika terdapat makna konstitutif bersama, seperti konsep properti, gagasan tentang identitas individu, dan ide nilai tukar. Penjelasan yang memadai mengenai praktik dalam suatu masyarakat, dengan menguraikan ide-ide dan konseptualisasi dasar yang mendasarinya, akan menunjukkan bagaimana berbagai aspek dari tatanan sosial saling berhubungan, serta sejauh mana tatanan sosial tersebut membentuk suatu keseluruhan yang koheren.

Kebutuhan akan Tingkat Interpretasi yang Tinggi

Kebutuhan akan interpretasi yang mendalam sering kali terlewatkan jika perhatian hanya difokuskan pada studi tentang budaya sendiri oleh anggota budaya tersebut. Dalam situasi seperti ini, ilmuwan sosial tidak perlu menjelaskan secara eksplisit kerangka interpretasi mereka untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi kelas tindakan serta institusi yang menjadi objek kajian mereka. Mereka dan pembacanya sudah mengetahui apa itu bank dan apa arti penyetoran dana.

Namun, hal ini tidak boleh dianggap remeh. Pemahaman implisit yang kita miliki sebagai praktisi umumnya tidak memadai untuk tugas-tugas ilmu sosial. Oleh karena itu, beberapa karya terbaik dalam ilmu sosial sebagian besar terdiri dari upaya menjelaskan aturan-aturan bersama dan makna konstitutif yang mendasari praktik-praktik sehari-hari yang biasa. (Contohnya termasuk karya seperti Modern British Politics karya Beer, The Social Meanings of Suicide karya Douglas, The Social Organization of Juvenile Justice karya Cicourel, dan Asylums karya Goffman.) (9)

Interpretasi dalam Ilmu Sosial: Bukan Satu-Satunya Aspek

Terpesona oleh keanggunan dan kedalaman teori interpretatif, filsuf humanis dalam ilmu sosial sering berasumsi atau berargumen bahwa interpretasi adalah segalanya. Mereka berangkat dari pengamatan yang benar bahwa teori sosial harus bersifat interpretatif menuju kesimpulan yang keliru bahwa teori sosial hanya bisa bersifat interpretatif.

Fenomena sosial tidak hanya terdiri atas struktur abstrak dari makna yang dapat dijabarkan dan dianalisis, tetapi juga berupa tindakan (dan peristiwa lainnya) yang benar-benar terjadi di tempat dan waktu tertentu. Meskipun kita tidak dapat mendekati subjek tanpa memahami makna dari tindakan-tindakan tersebut, pemahaman ini saja tidak cukup untuk menjelaskan mengapa tindakan itu terjadi. Sebagai contoh, mengetahui apa yang seseorang katakan dan apa artinya tidaklah sama dengan mengetahui mengapa ia mengatakannya.

Catatan: 9. Dalam antropologi, kebutuhan akan interpretasi paling jelas terlihat karena antropolog tidak memiliki pemahaman implisit sebagai "orang dalam" dari masyarakat yang dipelajarinya. Oleh karena itu, ia harus mengembangkan skema eksplisit secara keseluruhan dalam karyanya. Tidak mengherankan jika dalam antropologi, upaya interpretatif ini paling berkembang.

=======================================================================

enjelasan Mengapa Sesuatu Terjadi: Sebuah Pendekatan Kausal

Penjelasan mengenai mengapa sesuatu terjadi sering disebut sebagai penjelasan kausal, karena penjelasan tersebut menguraikan apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Dalam kasus tindakan, misalnya, kita menjelaskan mengapa seseorang melakukan sesuatu dengan menunjukkan motif atau tujuan yang mendorongnya untuk bertindak demikian. Sebagai contoh, Weber menjelaskan jenis perilaku yang khas pada kapitalis abad ke-16 dan ke-17 dengan mengacu pada seperangkat keyakinan agama dan keinginan yang menyebabkan jenis-jenis Protestan tertentu bertindak seperti itu.

Argumen Humanisme dan Kritiknya

Salah satu prinsip utama humanisme dalam dua dekade terakhir adalah keyakinan bahwa keyakinan, tujuan, nilai, keinginan, dan sebagainya (disingkat menjadi alasan) tidak dapat menjadi penyebab, dan oleh karena itu tidak ada "penjelasan" nyata dalam ilmu sosial. Yang ada hanyalah bentuk interpretasi lain, di mana ilmuwan mencoba mengungkap rasionalitas atau dasar tindakan yang dimaksud. (10)

Namun, argumen seperti itu kini diakui secara luas sebagai tidak memadai. Walaupun alasan tidak bisa menjadi penyebab (karena keduanya merupakan hal yang sepenuhnya berbeda), memiliki alasan, mempercayai alasan, atau memberikan alasan adalah semua peristiwa psikologis, dan sebagai peristiwa psikologis, tidak ada yang mencegah mereka untuk menjadi bagian dari penjelasan kausal. (11) (Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa untuk benar-benar merinci sifat penyebab ini, seseorang perlu mengembangkan filsafat tentang peristiwa mental yang mampu menjelaskan kualitas khasnya, seperti kandungan intensionalnya dan hubungannya yang sangat erat dengan perilaku nyata. Sayangnya, analisis filosofis semacam ini sering kali diabaikan dalam diskusi tentang teori tindakan dan hubungannya dengan filsafat ilmu sosial, bahkan oleh mereka yang menganut posisi kausalis. (12))

Penjelasan Kausal dalam Ilmu Sosial

Lebih jauh lagi, ilmuwan sosial tertarik untuk menjelaskan banyak fenomena selain tindakan. Mereka ingin menjelaskan mengapa orang memiliki keyakinan dan nilai tertentu (seperti dalam sosiologi pengetahuan); menjelaskan pola akibat yang tidak disengaja dari tindakan; menemukan mengapa suatu struktur sosial muncul sejak awal, dan mengapa ia terus ada meskipun terjadi perubahan anggota; dan sebagainya. Dalam pertanyaan-pertanyaan ini, serta dalam semua pertanyaan lain yang diminati oleh ilmuwan sosial, bentuk penjelasannya adalah kausal. Sebab, dalam setiap kasus tersebut, yang diperlukan untuk penjelasan adalah identifikasi kondisi yang diperlukan dan/atau cukup yang menghasilkan fenomena yang dimaksudkan.

Catatan:
10. Lihat, misalnya, A. I. Melden, Free Action, London, 1961.
11. Pernyataan klasik mengenai posisi ini dapat ditemukan dalam Donald Davidson, Actions, Reasons, and Causes, Journal of Philosophy, 60, 1963.
12. Pengecualian terhadap pengabaian ini adalah karya Arthur Danto, Analytical Philosophy of Action, Cambridge, 1973, dan tulisan-tulisan mereka yang mendukung teori fungsionalistik tentang pikiran, seperti J. Fodor, Psychological Explanation, New York, 1968; Daniel Dennett, Content and Consciousness, London, 1969; serta esai-esai Hilary Putnam dalam bukunya Mind, Language and Reality, Cambridge, 1975.

======================================================================

Penjelasan Kausal dalam Ilmu Sosial dan Hubungannya dengan Interpretasi

Kita akan kembali membahas pertanyaan mengenai penjelasan kausal dalam ilmu sosial saat kita membahas teori dalam ilmu sosial. Namun, apa yang telah disampaikan sejauh ini cukup untuk menunjukkan bahwa ilmu sosial merupakan upaya penjelasan (explanatory enterprise) sekaligus interpretasi (interpretive enterprise).

Oleh karena itu, muncul pertanyaan-pertanyaan berikut:

  1. Apa hubungan antara interpretasi dan penjelasan dalam ilmu sosial?
  2. Bagaimana interpretasi memengaruhi atau membatasi penjelasan, atau sebaliknya?
  3. Bagaimana kriteria untuk interpretasi yang baik sesuai dengan kriteria untuk penjelasan yang baik?

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena ilmu sosial adalah studi ilmiah sistematis tentang fenomena intensional.

Kaum humanis gagal memahami tugas penjelasan dalam ilmu sosial (yaitu, mereka gagal melihat bagaimana disiplin ini bersifat ilmiah), sedangkan kaum naturalis telah salah memahami peran krusial interpretasi dalam ilmu sosial (yaitu, mereka memberikan analisis yang tidak memadai atau menyesatkan mengenai apa arti fenomena intensional). Akibatnya, kedua pendekatan ini mengabaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Inilah salah satu alasan mengapa tradisi saat ini dalam filsafat analitik ilmu sosial tidak hanya tidak memadai, tetapi juga, berdasarkan kerangka rujukan mereka, tidak mampu menuju arah yang benar. (13)


Dikotomi Humanis dan Naturalis dalam Ilmu Sosial

Dikotomi antara humanis dan naturalis juga membuat tidak mungkin menjawab pertanyaan kedua yang sangat penting bagi ilmu perilaku: Apa hakikat teori ilmiah dalam ilmu sosial?

Bagi banyak penulis dalam tradisi humanis, terutama seperti yang diwakili dalam filsafat analitik baru-baru ini, pertanyaan ini hampir tidak ada. Sulit menemukan pembahasan teori ilmiah sosial, apalagi diskusi mendalam tentangnya, dalam karya Louch, Winch, Taylor, atau von Wright—untuk menyebut beberapa pernyataan humanis paling penting dalam lima belas tahun terakhir.

Alasan untuk ini cukup jelas. Dari perspektif humanis, tidak ada kebutuhan maupun ruang untuk teori dalam studi masyarakat. (Setidaknya ini benar jika kita memahami "teori" sebagai penjelasan sistematis dan terpadu dari berbagai fenomena sosial.)

Dalam posisi humanis, tidak ada tempat bagi teori karena poin utama mereka adalah bahwa ilmu sosial semata-mata bersifat interpretatif: ilmu ini bertujuan memberikan pemahaman mengenai makna dari tindakan atau praktik tertentu dalam suatu masyarakat.

Seperti yang telah kita tunjukkan, pemahaman semacam itu mungkin mengharuskan kita memahami pandangan dunia (worldview) masyarakat atau budaya yang dimaksud, dan diperlukan struktur intelektual yang rumit dan canggih untuk melakukannya.

Catatan:
(13) Posisi ini juga dianut oleh Max Weber, terutama dalam karyanya Critical Studies in the Logic of the Cultural Science. Dalam hal ini, kami merasa bahwa kembali ke pemikiran Weber akan menjadi langkah maju dalam filsafat ilmu sosial, meskipun kami tidak sepenuhnya setuju dengan jawaban-jawaban Weber terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.

========================================================================

Namun, sebuah penjelasan mengenai pandangan dunia suatu masyarakat, atau makna-makna intersubjektif maupun konstitutifnya, bukanlah sebuah teori yang menjelaskan mengapa masyarakat tersebut memiliki institusi-institusi yang dimilikinya, mengapa proses perubahan sosial tertentu terjadi, mengapa masyarakat itu memiliki pola-pola tertentu, atau mengapa individu tertentu melakukan jenis-jenis tindakan tertentu. Untuk menjelaskan fenomena semacam itu, kita memerlukan teori-teori yang, secara garis besar, bersifat kausal. Namun, fokus tradisi humanis pada dimensi makna dalam tindakan manusia telah menghalanginya dalam mengembangkan jenis teori ilmu sosial semacam ini.

Kegagalan memberikan penjelasan mengenai teori eksplanatif ini telah menjadi sumber ketidaknyamanan tersendiri bagi para pendukung pandangan humanis, karena ini berarti mereka gagal menangani aspek-aspek dari pekerjaan ilmiah sosial yang sangat penting bagi banyak praktisinya, dan yang merupakan beberapa pencapaian paling menonjol dalam ilmu sosial. Contoh paling jelas dari hal ini adalah teori ekonomi Keynesian; namun, semua ilmu sosial memiliki teori-teorinya masing-masing. Sebagai contoh, teori kekerabatan dalam antropologi, teori pertukaran dalam sosiologi, teori tata bahasa transformasional dalam linguistik, teori modernisasi dalam ilmu politik, dan teori disonansi kognitif dalam psikologi adalah beberapa contoh dimensi teoretis yang beroperasi dalam ilmu sosial modern.

Meskipun humanisme cukup populer di kalangan filsuf analitik, naturalisme masih menjadi posisi dominan di antara ilmuwan sosial. Salah satu alasan untuk ini adalah bahwa sikap anti-teoretis dalam model humanis membuatnya tampak sangat kurang memadai, bahkan tidak relevan, bagi mereka yang secara aktif terlibat dalam pekerjaan ilmiah sosial yang substantif.

Ilmu sosial harus bersifat teoretis karena salah satu tujuannya adalah memberikan penjelasan kausal tentang peristiwa-peristiwa, bahkan penjelasan kausal tunggal sekalipun memerlukan semacam hukum umum. Mengatakan bahwa suatu peristiwa, x, menyebabkan peristiwa lain, y, berarti (secara kasar) bahwa terjadinya x adalah kondisi yang diperlukan dan/atau cukup untuk terjadinya y. Ide bahwa terjadinya satu peristiwa menjadi syarat bagi terjadinya peristiwa lain membedakan pernyataan kausal berbentuk “Di bawah kondisi C, x menyebabkan y” dari pernyataan gabungan sederhana berbentuk “Di bawah kondisi C, x terjadi dan kemudian y terjadi.” Ini berarti bahwa ketika kita memberikan penjelasan kausal, kita secara implisit menyatakan bahwa kapan pun peristiwa tipe x terjadi di bawah kondisi C, maka peristiwa tipe y juga akan terjadi, yang artinya penjelasan kausal pada akhirnya bergantung pada hukum-hukum umum.

Namun, ini tidak berarti bahwa kita harus benar-benar mampu menyatakan sebuah hukum untuk memberikan penjelasan kausal yang valid, karena kita mungkin memiliki alasan kuat untuk percaya bahwa dua peristiwa saling berhubungan secara kausal meskipun kita tidak dapat menyediakan hukum yang sesuai. Bahkan, mungkin saja kita tidak akan mampu menyatakan hukum tersebut hingga kita mendeskripsikan ulang peristiwa-peristiwa yang dimaksud dalam bahasa teori tertentu. (14)

Catatan: (14) Lihat Donald Davidson, Causal Relations, Journal of Philosophy, 64, 1967, dan Mental Events dalam L. Foster dan J. Swanson (eds.), Experience and Theory.

========================================================================