Tujuan Pembelajaran :
Peserta didik mampu memahami berbagai perspektif budaya, agama, dan kepercayaan terkait masalah di sekolah serta menganalisis bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi pandangan terhadap suatu permasalahan
Langkah Pembelajaran
1. Peserta didik menjawab pertanyaan pemantik dari guru :
a. Apa yang dimaksud dengan masalah ?
b. Masalah-masalah apa saja yang terjadi di sekolah ?
c. Bagaimanakah prespektif berbagai budaya, agama, dan kepercayaan terhadap masalah-masalah tersebut ?
Jawab :
Pertanyaan pemantik yang Anda ajukan dapat memancing diskusi mendalam dari peserta didik. Berikut adalah beberapa jawaban yang mungkin mereka berikan:
a. Apa yang dimaksud dengan masalah?
- Masalah adalah situasi atau kondisi yang membutuhkan penyelesaian karena menimbulkan hambatan, kesulitan, atau ketidaknyamanan. Dalam kehidupan sehari-hari, masalah bisa berupa sesuatu yang menghalangi seseorang mencapai tujuannya.
b. Masalah-masalah apa saja yang terjadi di sekolah?
- Beberapa masalah yang sering terjadi di sekolah antara lain:
- Bullying (perundungan) antar siswa.
- Prestasi akademik yang menurun.
- Ketidakhadiran (absen) tanpa alasan yang jelas.
- Konflik antar siswa atau antara siswa dan guru.
- Tekanan untuk mengikuti ekspektasi akademik dan sosial.
- Masalah kebersihan dan lingkungan fisik sekolah yang tidak mendukung.
- Perbedaan latar belakang sosial, budaya, atau ekonomi yang bisa menimbulkan ketidakadilan.
c. Bagaimanakah perspektif berbagai budaya, agama, dan kepercayaan terhadap masalah-masalah tersebut?
Budaya: Di beberapa budaya, masalah seperti konflik antar siswa dapat dilihat sebagai sesuatu yang harus diselesaikan melalui mediasi atau dialog bersama. Beberapa budaya lain mungkin lebih mendukung pendekatan disiplin yang tegas. Nilai-nilai seperti gotong royong atau kerja sama mungkin ditekankan dalam penyelesaian masalah.
Agama: Setiap agama memiliki pendekatan berbeda terhadap masalah. Misalnya:
- Dalam Islam, pentingnya perdamaian, keadilan, dan menghindari kebencian ditegaskan. Konflik atau bullying mungkin dianggap sebagai tindakan yang perlu dihindari karena mencederai prinsip harmoni dan kasih sayang.
- Dalam agama Kristen, ajaran kasih, pengampunan, dan saling membantu bisa menjadi panduan dalam menangani masalah antar siswa.
- Dalam agama Hindu dan Buddha, nilai-nilai seperti karma (tindakan akan berdampak pada masa depan) dan ahimsa (tidak menyakiti makhluk lain) dapat mendorong perilaku saling menghargai dan menghindari kekerasan di sekolah.
Kepercayaan lokal: Beberapa masyarakat adat mungkin memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah, seperti melalui musyawarah adat atau bentuk pendekatan berbasis komunitas yang menekankan solusi damai dan kolektif.
Pemantik ini membuka ruang diskusi yang luas bagi peserta didik untuk memahami berbagai perspektif dalam menghadapi masalah.
2. Peserta didik diminta duduk berkelompok sesuai kelompok bimbingan konseling atau kelompok yang dibuat oleh fasilitator. (1 kelompok maksimal 6 orang)
3. Setiap kelompok mendapat satu budaya acak dari Guru. Budaya ini juga menjadi nama kelompoknya. (Budaya Jawa, Bali, Sunda, Minangkabau, Batak, Bugis-Makasar, Dayak, Papua, Betawi)
4. Peserta didik berdiskusi dan menuliskan masalah-masalah yang terjadi di sekolah pada buku catatan. Dan guru mulai membimbing kelompok yang belum berjalan diskusinya.
5. Peserta didik memilih dua masalah dengan alasannya
Jawab :
Berikut adalah beberapa masalah yang mungkin diidentifikasi oleh peserta didik beserta alasan mengapa masalah tersebut terjadi:
Bullying (Perundungan)
- Alasan: Terjadi karena perbedaan fisik, status sosial, atau ketidakmampuan siswa dalam beradaptasi dengan lingkungan. Tindakan bullying juga bisa muncul dari rendahnya kesadaran siswa akan empati dan penghargaan terhadap perbedaan.
Prestasi akademik yang menurun
- Alasan: Bisa disebabkan oleh kurangnya minat belajar, metode pembelajaran yang tidak menarik, atau tekanan akademik yang berlebihan. Siswa juga mungkin kesulitan memahami materi pelajaran karena metode pengajaran tidak sesuai dengan gaya belajar mereka.
Ketidakhadiran (absen tanpa alasan yang jelas)
- Alasan: Siswa mungkin merasa tidak nyaman di sekolah, baik karena tekanan dari lingkungan, masalah dengan teman sekelas, atau hubungan yang kurang baik dengan guru. Faktor eksternal seperti kondisi keluarga atau masalah pribadi juga bisa memengaruhi kehadiran mereka.
Konflik antar siswa
- Alasan: Perbedaan pendapat, persaingan, atau kurangnya kemampuan komunikasi bisa menyebabkan konflik di antara siswa. Konflik juga sering terjadi akibat kurangnya pemahaman terhadap perbedaan latar belakang, baik budaya, agama, maupun ekonomi.
Kurangnya kebersihan di lingkungan sekolah
- Alasan: Kurangnya kesadaran siswa terhadap pentingnya menjaga kebersihan serta kurangnya fasilitas atau sarana kebersihan yang memadai di sekolah. Selain itu, tidak adanya aturan yang tegas dan pengawasan dalam menjaga kebersihan lingkungan sekolah.
Perundungan daring (cyberbullying)
- Alasan: Dengan meningkatnya penggunaan media sosial di kalangan siswa, cyberbullying menjadi masalah yang lebih sering muncul. Siswa mungkin merasa lebih bebas untuk melakukan perundungan secara daring karena ada jarak dan anonimitas.
Tekanan sosial dan ekspektasi tinggi dari lingkungan sekolah
- Alasan: Siswa mungkin merasa terbebani dengan ekspektasi tinggi dari guru, orang tua, atau teman-teman sebayanya. Tekanan ini bisa terkait dengan prestasi akademik, popularitas sosial, atau penampilan fisik.
Kurangnya partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler
- Alasan: Siswa mungkin merasa kegiatan ekstrakurikuler tidak menarik atau relevan dengan minat mereka. Atau bisa jadi mereka memiliki keterbatasan waktu akibat banyaknya tugas akademik.
Kesenjangan sosial-ekonomi antara siswa
- Alasan: Siswa dari latar belakang ekonomi yang berbeda mungkin mengalami perbedaan akses terhadap sumber daya pendidikan, seperti alat tulis, teknologi, atau kegiatan tambahan di luar sekolah. Hal ini bisa menimbulkan rasa ketidakadilan dan kecemburuan di kalangan siswa.
Rendahnya disiplin waktu siswa
- Alasan: Beberapa siswa mungkin belum memiliki kesadaran akan pentingnya disiplin dalam waktu, baik untuk datang ke sekolah tepat waktu, menyelesaikan tugas, atau mengikuti pelajaran. Kurangnya pengawasan atau sistem penghargaan dan sanksi yang efektif bisa memperparah masalah ini.
Dengan diskusi ini, peserta didik dapat memahami beragam masalah yang terjadi di sekolah dan mengeksplorasi alasan-alasan di baliknya. Ini juga bisa menjadi langkah awal untuk mencari solusi bersama.
6. Peserta didik menjelaskan secara singkat tentang masalah tersebut dan memberikan kemungkinan alasan mengapa masalah tersebut terjadi
7. Peserta didik menjelaskan bagaimana budaya (budaya yang di dapat setiap kelompok) memandang masalah-masalah tersebut(Peserta didik dapat mencari sumber bacaannya di internet)
Jawab :
Berikut adalah penjelasan mengenai pandangan budaya Jawa, Bali, Sunda, Minangkabau, Batak, Bugis-Makassar, Dayak, Papua, dan Betawi terhadap beberapa masalah di sekolah:
1. Bullying (Perundungan)
Budaya Jawa: Dalam budaya Jawa, keharmonisan sosial dan "rukun" sangat dijunjung tinggi. Bullying dianggap sebagai tindakan yang melanggar prinsip harmoni tersebut. Tindakan merendahkan orang lain bertentangan dengan konsep "tata krama" dan "unggah-ungguh" yang menekankan pentingnya saling menghormati.
Budaya Bali: Masyarakat Bali menghargai konsep "menyama braya" (persaudaraan). Bullying dianggap mencederai nilai ini, karena persaudaraan melibatkan sikap saling tolong-menolong dan menghormati satu sama lain.
Budaya Sunda: Budaya Sunda mengedepankan nilai "silih asih, silih asah, silih asuh" yang berarti saling mengasihi, mengasah, dan membimbing. Perundungan bertentangan dengan nilai-nilai ini karena justru menimbulkan permusuhan dan ketidaknyamanan.
Budaya Minangkabau: Dalam budaya Minangkabau, hubungan yang harmonis di antara masyarakat sangat penting. Tindakan perundungan melanggar nilai "adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" yang menekankan pada harmoni, keadilan, dan penghormatan.
Budaya Batak: Di dalam budaya Batak, hubungan antarindividu diatur dalam konsep "dalihan na tolu" yang mengajarkan pentingnya hormat antara individu dalam struktur sosial. Bullying dianggap sebagai tindakan yang melanggar tatanan sosial dan norma saling menghormati.
Budaya Bugis-Makassar: Nilai "siri' na pacce" (rasa malu dan solidaritas) sangat dihargai dalam budaya Bugis-Makassar. Siri' mengajarkan rasa malu bila seseorang dipermalukan atau dilecehkan, sehingga perundungan sangat dikutuk karena melukai kehormatan individu dan keluarga.
Budaya Dayak: Masyarakat Dayak memegang nilai "belom bahadat" (hidup dengan adat), yang berarti hidup dengan saling menghormati. Bullying dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap adat dan norma yang menekankan persatuan dan kebersamaan.
Budaya Papua: Masyarakat Papua menghargai kehidupan komunal dan harmoni dalam kelompok. Bullying dipandang merusak semangat kebersamaan dan persaudaraan dalam masyarakat yang menekankan solidaritas.
Budaya Betawi: Dalam budaya Betawi, sikap "guyub" dan "saling menghormati" sangat penting. Bullying bertentangan dengan prinsip kekeluargaan yang dipegang kuat, di mana tindakan saling menjatuhkan tidak disukai.
2. Prestasi akademik yang menurun
Budaya Jawa: Prestasi akademik sering dikaitkan dengan kebanggaan keluarga. Dalam budaya Jawa, siswa yang berhasil biasanya mendapatkan dukungan penuh dari keluarga. Penurunan prestasi bisa menimbulkan kekhawatiran karena dianggap mengurangi peluang untuk membanggakan keluarga.
Budaya Bali: Di Bali, pendidikan dipandang penting untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, terutama untuk mendukung nilai "Tri Hita Karana" (keseimbangan hidup). Prestasi akademik yang menurun dipandang sebagai kurangnya keseimbangan dalam usaha.
Budaya Sunda: Prestasi akademik yang baik dianggap membawa kebanggaan, dan penurunan prestasi dapat mengganggu citra keluarga. Namun, orang Sunda cenderung lebih fokus pada pendekatan yang lemah lembut dalam menanganinya.
Budaya Minangkabau: Prestasi akademik dianggap penting, terutama bagi laki-laki yang diharapkan dapat sukses dan mengangkat martabat keluarga. Penurunan prestasi bisa dianggap sebagai tanda kurangnya semangat dan usaha.
Budaya Batak: Pendidikan adalah salah satu jalur utama untuk meningkatkan status sosial dalam budaya Batak. Prestasi akademik yang menurun sering dianggap sebagai kegagalan yang serius dan mungkin akan mendapatkan teguran dari orang tua.
Budaya Bugis-Makassar: Pendidikan dianggap sebagai modal penting dalam mempertahankan siri’ (harga diri). Penurunan prestasi mungkin dianggap sebagai tanda ketidakmampuan individu dalam menjaga siri' mereka.
Budaya Dayak: Pendidikan dipandang penting sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penurunan prestasi akademik bisa mengganggu harapan keluarga dalam mengangkat derajat komunitas mereka.
Budaya Papua: Masyarakat Papua semakin menghargai pendidikan sebagai jalan keluar dari keterbatasan ekonomi dan sosial. Penurunan prestasi dipandang sebagai kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Budaya Betawi: Prestasi akademik diakui penting, meskipun budaya Betawi cenderung lebih mengutamakan hubungan sosial dan keharmonisan. Penurunan prestasi bisa dipandang sebagai masalah, namun sering kali diatasi dengan pendekatan kekeluargaan.
3. Ketidakhadiran (absen tanpa alasan jelas)
Budaya Jawa: Kehadiran dan disiplin dalam pendidikan dianggap sebagai bentuk penghormatan pada orang tua dan guru. Ketidakhadiran tanpa alasan yang jelas dipandang sebagai pelanggaran terhadap norma sosial yang menekankan kesopanan dan tata krama.
Budaya Bali: Dalam budaya Bali, kehadiran di sekolah dianggap sebagai tanggung jawab penting. Absensi tanpa alasan bisa dipandang sebagai kurangnya tanggung jawab, yang dapat mencederai nilai persaudaraan.
Budaya Sunda: Orang Sunda cenderung sangat menghargai kesopanan dan tanggung jawab. Tidak hadir di sekolah tanpa alasan bisa dianggap sebagai tanda kurangnya tanggung jawab pribadi.
Budaya Minangkabau: Dalam budaya Minangkabau, ketidakhadiran tanpa alasan jelas bisa dianggap sebagai bentuk kurangnya rasa tanggung jawab dan kesungguhan dalam menjalankan tugas.
Budaya Batak: Disiplin sangat dihargai dalam budaya Batak, dan ketidakhadiran tanpa alasan bisa dipandang sebagai bentuk kemalasan atau kurangnya rasa hormat terhadap kewajiban.
Budaya Bugis-Makassar: Siri’ na pacce menekankan pentingnya kehormatan, dan ketidakhadiran di sekolah bisa dianggap merusak kehormatan diri serta keluarga, mencerminkan kurangnya keseriusan.
Budaya Dayak: Masyarakat Dayak menghargai disiplin dalam pendidikan. Ketidakhadiran tanpa alasan jelas bisa dipandang sebagai kurangnya rasa tanggung jawab terhadap komunitas.
Budaya Papua: Ketidakhadiran di sekolah mungkin dipandang sebagai masalah serius, terutama karena pendidikan sekarang dilihat sebagai jalan untuk memperbaiki kualitas hidup.
Budaya Betawi: Kehadiran dan disiplin dianggap penting dalam budaya Betawi, namun pendekatan keluarga sering digunakan untuk mengatasi masalah ketidakhadiran.
4. Konflik antar siswa
Budaya Jawa: Konflik dilihat sebagai ancaman terhadap keharmonisan sosial ("rukun"). Penyelesaiannya sering melalui musyawarah dengan pendekatan yang halus agar tidak memalukan pihak yang terlibat.
Budaya Bali: Konflik dipandang merusak harmoni dalam komunitas, sehingga penyelesaiannya melalui mediasi dengan tujuan menjaga "menyama braya" (persaudaraan).
Budaya Sunda: Orang Sunda lebih mengedepankan nilai "silih asih" (saling mengasihi) dan cenderung mencari solusi damai melalui musyawarah.
Budaya Minangkabau: Penyelesaian konflik biasanya dilakukan melalui musyawarah adat ("kato nan ampek"), yang menekankan pada keadilan dan rasa hormat.
Budaya Batak: Konflik sering diselesaikan berdasarkan prinsip "dalihan na tolu" yang mengajarkan saling menghormati di antara pihak yang berkonflik.
Budaya Bugis-Makassar: Penyelesaian konflik dalam budaya Bugis-Makassar sering menggunakan pendekatan siri' na pacce untuk menjaga kehormatan pihak yang berselisih.
Budaya Dayak: Konflik dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip "belom bahadat". Penyelesaian dilakukan secara kolektif melalui pertemuan adat.
Budaya Papua: Penyelesaian konflik biasanya dilakukan secara komunal, mengutamakan dialog dan perdamaian antarindividu.
Budaya Betawi: Konflik dianggap merusak hubungan kekeluargaan. Solusi biasanya dicapai melalui pendekatan damai dan musyawarah dengan melibatkan tokoh masyarakat atau keluarga.
Penjelasan ini mencerminkan nilai-nilai yang berbeda dalam budaya-budaya tersebut dalam memandang masalah-masalah yang terjadi di sekolah. Setiap budaya memiliki caranya masing-masing untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah berdasarkan nilai dan norma yang berlaku.
8. Peserta didik menjelaskan bagaimana agama islam memandang masalah-masalah tersebut.
Jawab :
9. Peserta didik membandingkan pandangan antara budaya dan agama yang telah mereka pelajari. Apa perbedaan dan persamaan utama di antara pandangan tersebut ?
Jawab :
Dalam membandingkan pandangan budaya dan agama mengenai permasalahan di sekolah, seperti bullying, prestasi akademik yang menurun, ketidakhadiran, konflik antar siswa, dan kebersihan lingkungan, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan utama sebagai berikut:
Persamaan Utama
Nilai Keharmonisan dan Kemanusiaan
- Budaya: Hampir semua budaya di Indonesia menekankan pentingnya menjaga keharmonisan sosial, perdamaian, dan rasa hormat terhadap orang lain. Contohnya, budaya Jawa dengan konsep "rukun" dan "gotong royong" sangat mengutamakan harmoni dalam masyarakat. Begitu juga budaya Bali, Sunda, dan Minangkabau yang mengedepankan kerukunan dan saling membantu.
- Agama: Agama-agama seperti Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha juga menekankan pentingnya saling menghormati, kasih sayang, dan tidak menyakiti orang lain. Dalam Islam, perundungan dilarang karena melanggar prinsip kemuliaan manusia (QS Al-Hujurat: 11). Agama Kristen mengajarkan kasih kepada sesama manusia (Matius 22:39), dan ajaran Hindu menekankan konsep "Ahimsa" atau tidak menyakiti.
Penyelesaian Konflik Secara Damai
- Budaya: Banyak budaya di Indonesia menganut penyelesaian konflik secara damai melalui dialog dan musyawarah. Misalnya, budaya Jawa menekankan konsep "musyawarah mufakat," sementara Minangkabau menggunakan adat dan syarak untuk menyelesaikan masalah secara kolektif.
- Agama: Agama juga menekankan penyelesaian konflik dengan damai. Islam mengajarkan umatnya untuk mendamaikan pihak yang berkonflik (QS Al-Hujurat: 9-10), sementara agama Kristen mendorong rekonsiliasi dan pengampunan (Matius 5:44). Buddha mengajarkan belas kasih dan kesabaran dalam menyelesaikan permasalahan.
Kebersihan Sebagai Bagian dari Kehidupan yang Baik
- Budaya: Dalam budaya Bali dan Sunda, menjaga kebersihan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang terkait dengan kesucian dan keharmonisan dengan alam. Kebersihan dipandang penting untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan.
- Agama: Islam sangat menekankan pentingnya kebersihan sebagai bagian dari iman (HR. Muslim). Agama Hindu juga melihat kebersihan sebagai bagian dari kewajiban moral, dan Buddha menganggap lingkungan yang bersih mendukung perkembangan spiritual.
Perbedaan Utama
Landasan Nilai
- Budaya: Pandangan budaya biasanya berkembang dari adat istiadat dan norma sosial yang diturunkan secara turun-temurun. Nilai-nilai ini lebih kontekstual dan sering kali terikat dengan tradisi setempat. Misalnya, budaya Bugis-Makassar dengan "siri' na pacce" (harga diri dan solidaritas) berakar pada norma sosial lokal.
- Agama: Agama memiliki landasan yang bersumber dari ajaran kitab suci dan bersifat lebih universal. Dalam Islam, panduan moral dan perilaku diambil dari Al-Qur’an dan hadis, sementara dalam agama Kristen, Alkitab menjadi dasar utama dalam menentukan tindakan yang benar dan salah.
Tujuan Utama dalam Penyelesaian Masalah
- Budaya: Budaya cenderung lebih fokus pada mencapai keharmonisan sosial dan menjaga hubungan baik antar anggota komunitas. Sebagai contoh, dalam budaya Jawa, penyelesaian masalah bertujuan untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat dan menghindari konflik terbuka.
- Agama: Dalam agama, tujuan penyelesaian masalah tidak hanya untuk keharmonisan sosial tetapi juga untuk mencapai keridhaan Tuhan dan mendapatkan pahala di akhirat. Islam, misalnya, mengajarkan bahwa setiap tindakan, termasuk penyelesaian masalah di dunia, harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Pendekatan terhadap Masalah Moral
- Budaya: Budaya sering kali lebih fleksibel dalam menangani masalah moral, dan norma-norma budaya bisa berubah seiring waktu dan perubahan sosial. Pandangan budaya terhadap masalah seperti bullying atau ketidakhadiran mungkin dipengaruhi oleh norma sosial setempat.
- Agama: Pendekatan agama terhadap masalah moral cenderung lebih absolut dan berdasarkan ajaran yang tetap. Misalnya, Islam memiliki aturan yang tegas tentang perilaku baik dan buruk yang tidak mudah berubah, seperti larangan keras terhadap perundungan yang melanggar hak asasi manusia.
Kesimpulan
- Persamaan utama antara pandangan budaya dan agama adalah keduanya menekankan pentingnya menjaga harmoni, saling menghormati, dan menyelesaikan konflik secara damai. Baik budaya maupun agama juga menekankan pentingnya kebersihan sebagai bagian dari kehidupan yang baik.
- Perbedaan utama adalah pada landasan nilai dan tujuan akhir. Budaya lebih berfokus pada menjaga harmoni sosial dan adat lokal, sementara agama lebih bersandar pada ajaran kitab suci yang bersifat universal dan bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Tuhan. Agama juga memiliki pendekatan moral yang lebih absolut dibandingkan budaya yang lebih fleksibel.
10. Peserta didik menjawab Bagaimana nilai-nilai dari masing-masing budaya dan agama tersebut mempengaruhi cara pandang mereka terhadap masalah di sekolah ? Jelaskan dengan menggunakan contoh.
jawab:
Nilai-nilai budaya dan agama sangat mempengaruhi cara pandang peserta didik terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekolah. Setiap budaya dan agama membawa nilai-nilai unik yang membentuk sikap, perilaku, dan cara mereka menghadapi permasalahan. Berikut adalah beberapa contoh bagaimana nilai-nilai budaya dan agama mempengaruhi cara pandang peserta didik terhadap masalah di sekolah:
1. Masalah Bullying (Perundungan)
Budaya Jawa: Dalam budaya Jawa, ada nilai "tepo seliro" atau tenggang rasa, yang mengajarkan seseorang untuk bisa merasakan perasaan orang lain dan menjaga hubungan harmonis. Seorang siswa dengan latar belakang budaya Jawa mungkin lebih cenderung menghindari perundungan karena merasa bahwa menyakiti orang lain akan merusak keharmonisan dan hubungan sosial. Jika melihat bullying, mereka mungkin akan lebih memilih menyelesaikan masalah secara halus dan dengan cara-cara damai, sesuai dengan ajaran musyawarah dalam budaya Jawa.
Agama Islam: Islam mengajarkan untuk saling menghormati dan melarang perundungan, karena setiap manusia memiliki kehormatan yang harus dijaga (QS Al-Hujurat: 11). Siswa yang memegang teguh nilai-nilai Islam akan menghindari perilaku perundungan karena sadar bahwa tindakan tersebut tidak sesuai dengan ajaran agama dan akan berdampak negatif bagi mereka di dunia dan akhirat. Mereka mungkin juga akan mendorong perdamaian dengan mengajak teman-teman yang terlibat untuk berdamai sesuai ajaran Islam yang menekankan ukhuwah (persaudaraan).
2. Masalah Prestasi Akademik yang Menurun
Budaya Minangkabau: Dalam budaya Minangkabau, terdapat nilai "adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (adat berdasarkan agama, agama berdasarkan Kitabullah). Di sini, pendidikan adalah salah satu bentuk ibadah dan upaya meningkatkan derajat kehidupan. Jika seorang siswa dari budaya Minangkabau mengalami penurunan prestasi, ia mungkin akan berusaha lebih keras karena merasa prestasi akademik adalah bagian dari tanggung jawabnya dalam menjalankan ajaran agama dan adat. Selain itu, budaya Minang juga sangat menghargai prestasi sebagai cerminan martabat keluarga, sehingga mereka termotivasi untuk berusaha lebih baik.
Agama Hindu: Dalam ajaran Hindu, ada konsep "karma" yang mengajarkan bahwa setiap tindakan, termasuk belajar, akan memberikan hasil sesuai usaha. Seorang siswa yang mengikuti ajaran Hindu mungkin akan lebih termotivasi untuk memperbaiki prestasinya karena percaya bahwa hasil buruk diakibatkan oleh kurangnya usaha di masa lalu, dan dengan memperbaiki usaha, mereka dapat mencapai hasil yang lebih baik.
3. Masalah Ketidakhadiran Tanpa Alasan yang Jelas
Budaya Bali: Di Bali, terdapat konsep "Tri Hita Karana" yang mengajarkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan. Siswa yang berasal dari budaya Bali mungkin akan merasa bahwa ketidakhadiran tanpa alasan yang jelas adalah bentuk ketidakbertanggungjawaban yang dapat mengganggu keseimbangan sosial di sekolah. Mereka mungkin akan lebih teratur dalam mengikuti kegiatan sekolah karena ingin menjaga harmoni dan keseimbangan ini.
Agama Kristen: Dalam Kristen, ada ajaran mengenai tanggung jawab dan kejujuran. Seorang siswa Kristen mungkin memandang ketidakhadiran tanpa alasan sebagai bentuk ketidakjujuran dan pengabaian tanggung jawab terhadap pendidikan yang dianggap sebagai pemberian Tuhan. Mereka mungkin akan lebih rajin hadir di sekolah karena menganggap pendidikan sebagai panggilan Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan.
4. Masalah Konflik Antar Siswa
Budaya Bugis-Makassar: Budaya Bugis-Makassar memiliki konsep "siri' na pacce" yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan solidaritas sosial. Jika terjadi konflik antar siswa, seorang siswa Bugis mungkin akan mengedepankan upaya menjaga harga diri melalui dialog dan penyelesaian secara baik-baik untuk menghindari pertikaian lebih lanjut. Siri' mengajarkan bahwa menjaga nama baik adalah hal yang sangat penting, sehingga mereka mungkin berusaha menyelesaikan konflik dengan cepat agar tidak merusak nama baik diri dan keluarga.
Agama Islam: Dalam Islam, menyelesaikan konflik dengan cara damai dan penuh musyawarah adalah bagian dari ajaran agama. Siswa yang berpegang pada ajaran Islam mungkin akan mencoba mencari solusi melalui dialog atau mediasi, mengingat ajaran Islam tentang menyelesaikan perselisihan dengan damai (QS Al-Hujurat: 9-10). Mereka juga mungkin lebih terbuka untuk memaafkan pihak lain, sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW untuk menjadi pribadi yang pemaaf.
5. Masalah Kebersihan di Sekolah
Budaya Dayak: Dalam budaya Dayak, alam sangat dihargai dan dianggap sebagai sumber kehidupan. Kebersihan lingkungan sekolah mungkin dianggap penting bagi siswa yang berasal dari budaya Dayak karena mereka memahami bahwa menjaga kebersihan adalah bentuk penghormatan terhadap alam. Mereka mungkin akan lebih peduli dalam menjaga kebersihan lingkungan sekolah untuk memastikan keseimbangan dengan alam tetap terjaga.
Agama Islam: Islam menekankan pentingnya kebersihan sebagai bagian dari iman. Seorang siswa Muslim akan melihat kebersihan di sekolah sebagai kewajiban agama, bukan hanya karena kepentingan sosial atau kesehatan. Mereka mungkin lebih teliti dalam menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan sekolah, karena meyakini bahwa hal tersebut adalah bagian dari tanggung jawab seorang Muslim yang taat (HR. Muslim: 223).
Kesimpulan
Nilai-nilai budaya dan agama memberikan panduan dan pengaruh besar terhadap cara pandang peserta didik dalam menghadapi masalah di sekolah. Budaya lebih banyak berfokus pada norma-norma sosial, menjaga harmoni komunitas, dan hubungan manusia dengan lingkungan sekitar, sementara agama memberikan panduan moral dan spiritual yang lebih universal serta menekankan tanggung jawab kepada Tuhan. Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana budaya dan agama membentuk perilaku dan keputusan siswa dalam menghadapi masalah-masalah di sekolah.
11. Peserta didik menyiapkan presentasi dan mempresentasikannya